Rabu, 07 Maret 2012

Cara Mencegah Kecemasan Siswa di Sekolah

Kecemasan atau anxiety merupakan salah satu bentuk emosi individu yang berkenaan dengan adanya rasa terancam oleh sesuatu, biasanya dengan objek ancaman yang tidak begitu jelas. Kecemasan dengan intensitas yang wajar dapat dianggap memiliki nilai positif sebagai motivasi, tetapi apabila intensitasnya sangat kuat dan bersifat negatif justru malah akan menimbulkan kerugian dan dapat mengganggu terhadap keadaan fisik dan psikis individu yang bersangkutan.
Adalah Sigmund Freud, sang pelopor Psikoanalisis yang banyak mengkaji tentang kecemasan ini. Dalam kerangka teorinya, kecemasan dipandang sebagai komponen utama dan memegang peranan penting dalam dinamika kepribadian seorang individu.
Freud (Calvin S. Hall, 1993) membagi kecemasan ke dalam tiga tipe:
1. Kecemasan realistik yaitu rasa takut terhadap ancaman atau bahaya-bahaya nyata yang ada di dunia luar atau lingkungannya.
2. Kecemasan neurotik adalah rasa takut jangan-jangan insting-insting (dorongan Id) akan lepas dari kendali dan menyebabkan dia berbuat sesuatu yang bisa membuatnya dihukum. Kecemasan neurotik bukanlah ketakutan terhadap insting-insting itu sendiri, melainkan ketakutan terhadap hukuman yang akan menimpanya jika suatu insting dilepaskan. Kecemasan neurotik berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas, jika dia melakukan perbuatan impulsif.
3. Kecemasan moral yaitu rasa takut terhadap suara hati (super ego). Orang-orang yang memiliki super ego yang baik cenderung merasa bersalah atau malu jika mereka berbuat atau berfikir sesuatu yang bertentangan dengan moral. Sama halnya dengan kecemasan neurotik, kecemasan moral juga berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas jika dia melakukan perbuatan yang melanggar norma
Selanjutnya, dikemukakan pula bahwa kecemasan yang tidak dapat ditanggulangi dengan tindakan-tindakan yang efektif disebut traumatik, yang akan menjadikan seseorang merasa tak berdaya, dan serba kekanak-kanakan. Apabila ego tidak dapat menanggulangi kecemasan dengan cara-cara rasional, maka ia akan kembali pada cara-cara yang tidak realistik yang dikenal istilah mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism), seperti: represi, proyeksi, pembentukan reaksi, fiksasi dan regresi. Semua bentuk mekanisme pertahanan diri tersebut memiliki ciri-ciri umum yaitu: (1) mereka menyangkal, memalsukan atau mendistorsikan kenyataan dan (2) mereka bekerja atau berbuat secara tak sadar sehingga tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Kecemasan dapat dialami siapapun dan di mana pun, termasuk juga oleh para siswa di sekolah. Kecemasan yang dialami siswa di sekolah bisa berbentuk kecemasan realistik, neurotik atau kecemasan moral. Karena kecemasan merupakan proses psikis yang sifatnya tidak tampak ke permukaan maka untuk menentukan apakah seseorang siwa mengalami kecemasan atau tidak, diperlukan penelaahan yang seksama, dengan berusaha mengenali simptom atau gejala-gejalanya, beserta faktor-faktor yang melatarbelangi dan mempengaruhinya. Kendati demikian, perlu dicatat bahwa gejala-gejala kecemasan yang bisa diamati di permukaan hanyalah sebagian kecil saja dari masalah yang sesungguhnya, ibarat gunung es di lautan, yang apabila diselami lebih dalam mungkin akan ditemukan persoalan-persoalan yang jauh lebih kompleks.
Di sekolah, banyak faktor-faktor pemicu timbulnya kecemasan pada diri siswa. Target kurikulum yang terlalu tinggi, iklim pembelajaran yang tidak kondusif, pemberian tugas yang sangat padat, serta sistem penilaian ketat dan kurang adil dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kecemasan yang bersumber dari faktor kurikulum. Begitu juga, sikap dan perlakuan guru yang kurang bersahabat, galak, judes dan kurang kompeten merupakan sumber penyebab timbulnya kecemasan pada diri siswa yang bersumber dari faktor guru. Penerapan disiplin sekolah yang ketat dan lebih mengedepankan hukuman, iklim sekolah yang kurang nyaman, serta sarana dan pra sarana belajar yang sangat terbatas juga merupakan faktor-faktor pemicu terbentuknya kecemasan pada siswa.yang bersumber dari faktor manajemen sekolah.
Menurut Sieber e.al. (1977) kecemasan dianggap sebagai salah satu faktor penghambat dalam belajar yang dapat mengganggu kinerja fungsi-fungsi kognitif seseorang, seperti dalam berkonsentrasi, mengingat, pembentukan konsep dan pemecahan masalah. Pada tingkat kronis dan akut, gejala kecemasan dapat berbentuk gangguan fisik (somatik), seperti: gangguan pada saluran pencernaan, sering buang air, sakit kepala, gangguan jantung, sesak di dada, gemetaran bahkan pingsan.
Mengingat dampak negatifnya terhadap pencapaian prestasi belajar dan kesehatan fisik atau mental siswa, maka perlu ada upaya-upaya tertentu untuk mencegah dan mengurangi kecemasan siswa di sekolah, diantaranya dapat dilakukan melalui:
1. Menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran dapat menyenangkan apabila bertolak dari potensi, minat dan kebutuhan siswa. Oleh karena itu, strategi pembelajaran yang digunakan hendaknya berpusat pada siswa, yang memungkinkan siswa untuk dapat mengkspresikan diri dan dapat mengambil peran aktif dalam proses pembelajarannya.
2. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung guru seyogyanya dapat mengembangkan “sense of humor” dirinya maupun para siswanya. Kendati demikian, lelucon atau “joke” yang dilontarkan tetap harus berdasar pada etika dan tidak memojokkan siswa.
3. Melakukan kegiatan selingan melalui berbagai atraksi “game” atau “ice break” tertentu, terutama dilakukan pada saat suasana kelas sedang tidak kondusif.. Dalam hal ini, keterampilan guru dalam mengembangkan dinamika kelompok tampaknya sangat diperlukan.
4. Sewaktu-waktu ajaklah siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran di luar kelas, sehingga dalam proses pembelajaran tidak selamanya siswa harus terkurung di dalam kelas.
5. Memberikan materi dan tugas-tugas akademik dengan tingkat kesulitan yang moderat. Dalam arti, tidak terlalu mudah karena akan menyebabkan siswa menjadi cepat bosan dan kurang tertantang, tetapi tidak juga terlalu sulit yang dapat menyebabkan siswa frustrasi.
6. Menggunakan pendekatan humanistik dalam pengelolaan kelas, dimana siswa dapat mengembangkan pola hubungan yang akrab, ramah, toleran, penuh kecintaan dan penghargaan, baik dengan guru maupun dengan sesama siswa. Sedapat mungkin guru menghindari penggunaan reinforcement negatif (hukuman) jika terjadi tindakan indisipliner pada siswanya.
7. Mengembangkan sistem penilaian yang menyenangkan, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan penilaian diri (self assessment) atas tugas dan pekerjaan yang telah dilakukannya. Pada saat berlangsungnya pengujian, ciptakan situasi yang tidak mencekam, namun dengan tetap menjaga ketertiban dan objektivitas. Berikanlah umpan balik yang positif selama dan sesudah melaksanakan suatu asesmen atau pengujian.
8. Di hadapan siswa, guru akan dipersepsi sebagai sosok pemegang otoritas yang dapat memberikan hukuman. Oleh karena itu, guru seyogyanya berupaya untuk menanamkan kesan positif dalam diri siswa, dengan hadir sebagai sosok yang menyenangkan, ramah, cerdas, penuh empati dan dapat diteladani, bukan menjadi sumber ketakutan.
9. Pengembangan menajemen sekolah yang memungkinkan tersedianya sarana dan sarana pokok yang dibutuhkan untuk kepentingan pembelajaran siswa, seperti ketersediaan alat tulis, tempat duduk, ruangan kelas dan sebagainya. Di samping itu, ciptakanlah sekolah sebagai lingkungan yang nyaman dan terbebas dari berbagai gangguan, terapkan disiplin sekolah yang manusiawi serta hindari bentuk tindakan kekerasan fisik maupun psikis di sekolah, baik yang dilakukan oleh guru, teman maupun orang-orang yang berada di luar sekolah.
10. Mengoptimalkan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Pelayanan bimbingan dan konseling dapat dijadikan sebagai kekuatan inti di sekolah guna mencegah dan mengatasi kecemasan siswa Dalam hal ini, ketersediaan konselor profesional di sekolah tampaknya menjadi mutlak adanya.
Melalui upaya – upaya di atas diharapkan para siswa dapat terhindar dari berbagai bentuk kecemasan dan mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu yang sehat secara fisik maupun psikis, yang pada gilirannya dapat menunjukkan prestasi belajar yang unggul.

Konseling Lintas Budaya

PENGERTIAN BUDAYA

Tokoh pendidikan nasional bapak Ki Haiar Dewantara (1977) memberikan definisi budaya sebagai berikut: Budaya berarti buah budi manusia, adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai bagal rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi (1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu:

1. merupakan produk budidaya manusia,
2. menentukan ciri seseorang,
3. manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.


PENGERTIAN KONSELING

Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangn dirinya,dan untuk mencapai perkembangan yang optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya ,proses tersebuat dapat terjadi setiap waktu. (Division of Conseling Psychologi). Konseling meliputi pemahaman dan hubungan individu untuk mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan, motivasi, dan potensi-potensi yang yang unik dari individu dan membantu individu yang bersangkutan untuk mengapresiasikan ketiga hal tersebut. (Berdnard & Fullmer ,1969) Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu:
1. adanya hubungan,
2. adanya dua individu atau lebih,
3. adanya proses,
4. membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan.

KONSEP KONSELING LINTAS BUDAYA
Isu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya meningkat dalam dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecahbelah secara meningkat pula (Hansen, L. S., 1997:41). Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan baru untuk kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan bagi orang biasa maupun profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya. Pendidikan yang dimaksud hendaknya menegaskan dimensi-dimensi keragaman dan perbedaan. Dengan kata lain, kecenderungan pendidikan yang berwawasan lintas budaya sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia abad-21.

Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioral dan humanistik (Paul Pedersen, 1991). Suatu masalah yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa orang mengartikannya secara berlain-lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui maknanya secara pasti atau benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah diartikan secara beragam dan berbeda-beda; sebagaimana keragaman dan perbedaan budaya yang memberi artinya.

Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan pada ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabel-variabelnya (Sue dan Sue, 1990). Namun, argumen-argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya harus melingkupi pula seluruh bidang dari kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan Birman, 1994).

Para ahli dan praktisi lintas budaya pun berbeda paham dalam menggunakan pendekatan universal atau etik, yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok; atau pendekatan emik (kekhususan-budaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka. Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja
dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.

Tampaknya konsep konseling lintas budaya yang melingkupi dua pendekatan tersebut dapat dipadukan sebagai berikut. Konseling lintas budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan klien yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabelvariabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37).

Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara
kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien (Dedi Supriadi, 2001:6).

Maka konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Ambon.

Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".

Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling. Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu:
1. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2. konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah:
1. latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor,
2. latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien,
3. asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan
4. nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
5. Nah, dari uraian diatas, ada beberapa hal yang perlu dipahami, yaitu:
6. Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
7. Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral
8. Memahami bahwa kekuatan susio-politik akan mempengaruhi dan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok
9. Dapat berbagi pandangannya tentang dunia klien dan tidak tertutup
10. Jujur dalam konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.

KARAKTERISTIK KONSELOR

Dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Pasal 1 ayat 13, mencantumkan bahwa saat ini konselor merupakan salah satu tenaga pendidik. Yang mana hal tersebut merupakan indicator secara tidak langsung bahwa konselor sudah mulai di butuhkan dalam suatu intitusi pendidikan. Maka dari itu, hal ini perlu diperhatikan dengan diperlukannya suatu klasifikasi khusus akan konselor sebagai tenaga pendidik ini, sebagai upaya dalam membangun profesi konselor yang professional. Selain itu dalam pencapaiannya sebagai suatu profesi yang professional, Beberapa dari hasil penelitian menunjukan, kualitas pribadi konselor menjadi faktor penentu bagi pencapain konseling yang efektif, di samping faktor pngetahuan tentang dinamika perilaku dan keterampilan teurapeutik atau konseling. Hal ini juga merupakan factor pendunkung bagi tercapainya suatu profesi konselor yang professional.
Kegiatan konseling yang dilakukan oleh setiap konselor tentunya tidak akan terlepas dari berbagai aspek penting mengenai komunikasi. Suatu komunikasi yang baik tidak akan tercapai bila tidak adanya rasa saling percaya antara kedua belah pihak. Ketercapaian rasa saling percaya ini dapat tercapai dengan pengetahuan/ keterampilan, dan kepribadian yang dimiliki oleh konselor.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam rangka mempersiapkan para calon konselor, pihak lembaga yang bertanggung jawab dalam pendidikan para calon konselor tersebut dituntut untuk memfasilitasi perkembangan pribadi mereka yangberkualitas, yang dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. Cavanagh (1982) mengemukakan bahwa kualitas pribadi konselor ditandai dengan beberapa karakteristik sebagai berikut :

  1. Pengetahuan Mengenai Diri Sendiri (Self-knowledge)
Disini berarti bahwa konselor memahami dirinya dengan baik, dia memahami secara nyata apa yang dia lakukan, mengapa dia melakukan itu, dan masalah apa yang harus dia selesaikan. Pemahaman ini sangat penting bagi konselor, karena beberapa alasan sebagai berikut.
a) Konselor yang memilki persepsi yang akurat akan dirinya maka dia juga akan memilki persepsi yang kuat terhadap orang lain.
b) Konselor yang terampil memahami dirinya maka ia juga akan memahami orang lain.

  1. Kompetensi (Competence)
Kompetensi dalam karakteristik ini memiliki makna sebagai kualitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral yang harus dimiliki konselor untuk membantu klien. kompetensi sangatlah penting, sebab klien yang dikonseling akan belajar dan mengembangkan kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang efektif dan bahagia. Adapun kompetensi dasar yang seyogianya dimilki oleh seorang konselor, yang antara lain :
a. Penguasaan wawasan dan landasan pendidikan
b. Penguasaan konsep bimbingan dan konseling
c. Penguasaan kemampuan assesmen
d. Penguasaan kemampuan mengembangkan progaram bimbingan dan konseling
e. Penguasaan kemampuan melaksanakan berbagai strategi layanan bimbingan dan konseling
f. Penguasaan kemampuan mengembangkan proses kelompok
g. Penguasaan kesadaran etik profesional dan pengembangan profesi
h. Penguasaan pemahaman konteks budaya, agama dan setting kebutuhan khusus.

  1. Kesehatan Psikologis yang Baik
Seorang konselor dituntut untuk dapat menjadi model dari suatu kondisi kesehatan psikologis yang baik bagi kliennya, yang mana hal ini memiliki pengertian akan ketentuan dari konselor dimana konselor harus lebih sehat kondisi psikisnya daripada klien. Kesehatan psikolpgis konselor yang baik sangat penting dan berguna bagi hubungan konseling. Karena apabila konselor kurang sahat psikisnya, maka ia akan teracuni oleh kebutuhan-kebutuhan sendiri, persepsi yang subjektif, nilai-nilai keliru, dan kebingungan.

  1. Dapat Dipercaya (trustworthness)
Konselor yang dipercaya dalam menjalankan tugasnya memiliki kecenderungan memilki kualitas sikap dan prilaku sebagai berikut:
a) Memilki pribadi yang konsisten
b) Dapat dipercaya oleh orang lain, baik ucapannya maupun perbuatannya.
c) Tidak pernah membuat orang lain kesal atau kecewa.
d) Bertanggung jawab, mampu merespon orang lain secara utuh, tidak ingkar janji dan mau membantu secara penuh.

  1. Kejujuran (honest)
Yang dimaksud dengan Kejujuran disini memiliki pengertian bahwa seorang konselor itu diharuskan memiliki sifat yang terbuka, otentik, dan sejati dalam pembarian layanannya kepada konseli. Jujur disini dalam pengertian memiliki kongruensi atau kesesuaian dalam kualitas diri actual (real-self) dengan penilain orang lain terhadap dirinya (public self). Sikap jujur ini penting dikarnakan:
1. Sikap keterbukaan konselor dan klien memungkinkan hubungan psikologis yang dekat satu sama lain dalam kegiatan konseling.
2. Kejujuaran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara objektif terhadap klien.

  1. Kekuatan atau Daya (strength)
Kekuatan atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling, sebab dengan hal itu klien merasa aman. Klien memandang seorang konselor sebagi orang yang, tabaha dalam menghadapi masalah, dapat mendorong klien dalam mengatasi masalahnya, dan dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah pribadi.
Konselor yang memilki kekuatan venderung menampilkan kualitas sikap dan prilaku berikut.
1. Dapat membuat batas waktu yang pantas dalam konseling
2. Bersifat fleksibel
3. Memilki identitas diri yang jelas

  1. Kehangatan (Warmth)
Yang dimaksud dengan bersikap hangat itu adalah ramah, penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang. Klien yang datang meminta bantuan konselor, pada umumnya yang kurang memilki kehangatan dalam hidupnya, sehingga ia kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikanperhatian, dan kasih sayang. Melalui konseling klien ingin mendapatkan rasa hangat tersebut dan melakukan Sharing dengan konseling. Bila hal itu diperoleh maka klien dapat mengalami perasaan yang nyaman.

  1. Pendengar yang Aktif (Active responsiveness)
Konselor secara dinamis telibat dengan seluruh proses konseling. Konselor yang memiliki kualitas ini akan: (a) mampu berhubungan dengan orang-orang yang bukan dari kalangannya sendiri saja, dan mampu berbagi ide-ide, perasaan, (b) membantu klien dalam konseling dengan cara-cara yang bersifat membantu, (c) memperlakukan klien dengan cara-cara yang dapat menimbulkan respon yang bermakna, (d) berkeinginan untuk berbagi tanggung jawab secara seimbang dengan klien dalam konseling.
  1. Kesabaran
Melaui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu klien untuk mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor menunjukan lebih memperhatikan diri klien daripada hasilnya. Konselor yang sabar cenderung menampilkan sikap dan prilaku yang tidak tergesa-gesa.

  1. Kepekaan (Sensitivity)
Kepekaan mempunyai makna bahwa konselor sadar akan kehalusan dinamika yang timbul dalam diri klien dan konselor sendiri. Kepekaan diri konselor sangat penting dalam konseling karena hal ini akan memberikan rasa aman bagi klien dan klien akan lebih percaya diri apabila berkonsultasi dengan konselor yang memiliki kepekaan.

  1. Kesadaran Holistik
Pendekatan holistik dalam bidang konseling berarti bahwa konselor memahami secara utuh dan tidak mendekatinya secara serpihan. Namun begitu bukan berarti bahwa konselor seorang yang ahli dalam berbagai hal, disini menunjukan bahwa konselor perlu memahami adanya berbagai dimensi yang menimbulkan masalah klien, dan memahami bagaimana dimensi yang satu memberi pengaruh terhadap dimensi yang lainnya. Dimensi-dimensi itu meliputi aspek, fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual, dan moral-spiritual.
Konselor yang memiliki kesdaran holistik cenderung menampilkan karakteristik sebagai berikut.
· Menyadari secara akurat tentang dimensi-dimensi kepribadian yang kompleks.
· Menemukan cara memberikan konsultasi yang tepat dan mempertimbangkan perlunya referal.
· Akrab dan terbuka terhadap berbagai teori.

Analisis
Apabila hal-hal akan karakteristik konselor ini di refleksikan terhadap diri sendiri sebagai calon konselor, yang mana tentunya mau tidak mau diharuskan memenuhi berbagai macam karakteristik tersebut. Maka di dapat beberapa refleksi diri terhadap karakteristik konselor tersebut yang antara lain:
- Pengetahuan akan diri sendiri, dalam hal ini saya kurang labih memiliki pengetahuan diri sendiri sebesar 60 persen, akan tetapi saya bingung antara pengetahuan akan diri dengan keinginan diri.
- Kompetensi, disini saya diperkirakan telah memiliki kompetensi yang saya yakini sebesar 30 persen dari keseluruhan potensi yang ada.
- Kesehatan psikologis yang baik, sebsesar 70 persen saya yakin bahwa memiliki kesehatan psikologis yang baik.
- Dapat dipercaya, meduduki persentase sebesar 87 persen,
- Kejujuran, dapat dikatakan kejujuran ini 85,1 persen,
- Sedangkan apa bila dilihat dari segi pendengar aktif, kesabaran serta kepekaan terhadap situasi konseling memiliki keyakinan sebesar 50 persen.

Kesimpulan
Meskipun terdapat berbagai karakteristik yang harus dipenuhi untuk mencapainya proses konseling yang baik, disarankan seorang calon konselor untuk dapat selalu membenahi dan memperbaiki dirinya kearah yang labih baik dan lebih mendekatkan diri pada yang maha kuasa serta memperkuat ilmu agama agar konseling yang dilaksanakan lebih berjalan dengan baik serta sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada dalam agama. Selain itu, karakteristik konselor dapat mendorong timbulnya public trust terhadap diri seorang konselor.
  
Referensi:
· Surya, Mohamad. (2003). Psikologi Konseling. Bandung: C.V. Pustaka Bani Quraisy
· Syamsu, Yusuf, Juntika. 2005. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Rosda
· Juntika, Ahmad. 2005. Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Refika Aditama

Senin, 12 Desember 2011

PENGEMBANGAN DIRI MELALUI PELAYANAN KONSELING

A. STRUKTUR PELAYANAN KONSELING
Pelayanan konseling di sekolah / madrasah merupakan usaha membantu peserta didik dalam pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kegiatan belajar, serta perencanaan dan pengembangan karir. Pelayanan konseling memfasilitasi pengembangan  peserta didik, secara individu dan atau kelompok, sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, perkembangan, serta peluang - peluang yang dimiliki. Pelayanan ini juga membantu mengatasi kelemahan dan hambatan serta maslah yang dihadapi peserta didik.

1. Pengertian Konseling
Konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mau mandiri dan berkembang secara optimal dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kegiatan belajar, dan perencanaan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma - norma yang berlaku.

2. Paradigma, Visi dan Misi
a. Paradigma
paradigma konseling adalah pelayanan bantuan psiko-pendidikan dalam bingkai budaya. artinya, pelayanan konseling berdasarkan kaidah - kaidah ilmu dan teknologi pendidikan serta psikologi yang dikemas dalam kaji-terapan pelayanan konseling yang diwarnai oleh budaya lingkungan peserta didik.
b. Visi
Visi pelayanan konseling adalah terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang membahagiakan  melalui tersedianya pelayanan bantuan dalam pemberian dukungan perkembangan dan pengetasan masalah agar peserta didik berkembang secara optimal, mandiri dan bahagia.
c. Misi
  • Misi pendidikan yaitu memfasilitasi pengembangan peserta didik melalui pembentukan perilaku efektif-normatif dalam kehidupan keseharian dan masa depan.
  • Misi pengembangan yaitu memfasilitasi pengembangan potensi dan kompetensi peserta didik di dalam lingkungan sekolah / madrasah, keluarga dan masyarakat.
  • Misi pengetasan masalah yaitu memfasilitasi pengetasan maslah peserta didik mengacu pada kehidupan efektif sehari - hari.
3. Bidang Pelayanan Konseling
  • Pengembangan Kehidupan Pribadi yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai, dan mengembangkan potensi dan kecakapan, bakat dan minat, sesuai dengan karakteristik kepribadian dan kebutuhan diri secara realistis.
  • Pengembangan Kehidupan Sosial yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan sebaya, anggota keluarga dan warga lingkungan sosial yang lebih luas.
  • Pengembangan Kegiatan Belajar yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar dalam tangka mengikuti pendidikan sekolah / madrasah dan belajar secara mandiri.
4. Fungsi Konseling
  • Pemahaman yaiut fungsi untuk membantu peserta didik memahami diri dan lingkungannya.
  • Pencegahan yaitu fungsi untuk membantu peserta didik mencegah atau menghindari diri dari berbagai permasalahan yang dapat menghambat perkembangan dirinya.
  • Pengetasan yaitu fungsi untuk membantu peserta didik mengatasi masalah yang dialaminya.
  • pemeliharaan dan Pengembangan yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memelihara dan menumbuh kembangkan berbagai potensi dan kondisi positif yang dimilikinya.
  • Advokasi yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memperoleh pembelaan atas hak dan atau kepentingannya kurang mendapat perhatian.
5. Prinsip dan Asas Konseling
  • Prinsip - prinsi konseling berkenaan dengan sasaran layanan, permasalahan yang dialami peserta didik, program pelayanan, serta tujuan dan pelaksanaan pelayanan.
  • Asas -asas konseling meliputi asas kerahasian, kesukarelaan, keterbukaan, kegiatan, kemandirian, kekinian, kedinamisan, keterpaduan, kenormatifan, keahlian, alih tangan kasus dan tut wuri handayani.
6. Jenis Layanan Konseling
  • Oreintasi yaitu layanan yang membantu peserta didik memahami lingkungan baru, terutama sekolah / madrasah dan objek - objek yang dipelajari, untuk menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar peran peserta didik di lingkungan yang baru.
  • Informasi yaitu layanan yang membantupeserta didik menerima dan memahami berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir / jabatan dan pendidikan lanjutan.
  • Penempatan dan Penyaluran yaitu layanan yang membantu peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di kelas, kelompok belajar, jurusan / program studi, program latihan, magang dang kegiatan ekstrakurikuler.
  • penguasaan kontet yaitu layanan yang membantu peserta didik menguasai konten tertentu, tertentu kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di sekolah, keluarga dan masyarakat.
  • konseling perorangan yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam mengentasan masalah pribadi.
  • Bimbingan Kelompok yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar, karir / jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok.
  • Konseling Kelompok yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengetasan masalah pribadi melali dinamika kelompok.
  • konsultasi yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengetasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok.
  • Konsultasi yaitu layanan yang membantu peserta didik dan puhak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman dan cara - cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik.
  • Mediasi yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antara peserta didik.
7. Kegiatan Pendukung
  • Aplikasi Instrumentasi yaitu mengumpulkan data tentang diri peserta didik dan lingkungan, melalui aplikasih berbagai instrumen, baik tes maupun non-tes
  • Himpunan Data yaitu kegiatan menghimpun data yang relevan dengan pengembangan peserta didik, yang diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematis, komprehensif, terpadu dan bersifat rahasia.
  • Konferensi Kasus yaitu kegiatan membahas permasalahan peserta didik dalam pertemuan khusus yang dihadiri oleh pihak - pihak yang dapat memberikan data,  kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya maslah peserta didik, yang bersifat terbatas dan tertutup.
  • Kunjungan Rumah yaitu kegiatan memperoleh data, kemudahan dan komitmen bagi terentasnya masalah peserta didik melalui pertemuan dengan orang tua dan atau keluarganya.
  • Tampilan Kepustakaan yaitu kegiatan menyediakan berbagai bahan pustaka yang dapat diguanakan peserta didik dalam pengembangna diri, kemampuan sosial,  kegiatan belajar dan karir / jabatan.
  • Alih Tangan Kasus yatiu kegiatan untuk memindahkan penanganan masalah peserta didik ke pihak lain sesuai keahlian dan kewenangannya.
8. Format Kegiatan
  • Individual yaitu format kegiatan konseling yang melayani peserta didik secara perorangan.
  • Kelompok yaitu format kegiatan konseling yang melayani sejumlah peserta didik melalui suasana dinamika kelompok.
  • Klasikal yaitu format kegiatan konseling yang melayani sejumlah peserta didik dalam satu kelas.
  • Lapangan yaitu format kegiatan konseling yang melayani seorang atau sejumlah peserta didi melalui kegiatan kelas atau kegiatan lapangan.
  • Pendekatan Khusus yaitu format kegiatan konseling yang melayani kepentingan peserta didi melalui pendekatan kepada pihak -pihak yang dapat memberikan kemudahan untuk peserta didik.
9.  Program Layanan
  • Jenis Program
  1.  Program Tahunan yaitu program pelayanan konseling meliputi kegiatan selama satu tahun untuk masing - masing kelas di sekolah / madrasah.
  2. Program Semesteran yaituprogram kegiatan pelayanan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu semester yang merupakan jabaran program tahunan.
  3. Program Bulanan yaitu program kegiatan pelayanan konseling meliputi seluruh kegiatan satu bulan yang merupakan jabaran program semesteran.
  4. Program Mingguan yaitu kegiatan pelayanan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu minggu yang merupakan jabaran program bulanan.
  5. Program Harian yaitu program kegiatan pelayanan konseling yang dilaksanakan pada hari - hari tertentu dalam satu minggu. Program harian merupakan jabaran dari program mingguan dalam bentuk satuan layanan (SATLAN) atau satuan kegiatan pendukung (SATKUNG) konseling.
  • Penyusunan Program
  1. Program layanan konseling disusun berdasarkan kebutuhan peserta didik (need assessment) yang diperoleh melalui aplikasi instrumentasi.
  2. Subtansi program pelayanan konseling meliputi keempat bidang, jenis layanan dan kegiatan pendukung, format kegitan, sasatan pelayanan dan volume / beban tugas konselor. 
B. PERENCANAAN KEGIATAN
  • Perencanaan kegiatan pelayanan konseling mengacu pada program tahunan yang telah dijabarkan ke dalam program semesteran, bulanan serta mingguan.
  • Perencanaan kegaitan pelayanan konseling harian yang merupakan jabaran dari program mingguan disusun dalam bentukSATLAN dan SATKUNG yang masing - masing memuat : 
  1. Sasaran layanan / kegiatan pendukung.
  2. Substansi layanan / kegitan pendukung
  3.  Jenis layanan / kegiatan pendukung, serta alat bantu yang digunakan
  4. Pelaksana layanan / kegiatan pendukung dan pihak pihak yang terlibat
  5. Waktu dan tempat
  • Rencanan kegiatan pelayanan konseling mingguan meliputi kegaitan di dalam kelas dan di luar kelas masing - masing kelas peserta didik yang menjadi tanggung jawab konselor.
  • Satu kali kegiatan layanan atau kegiatan pendukung konseling berbobot ekuivalen 2 (dua) jam pembelajaran
  • Volume keseluruhan kegaitan pelayanan konseling dalam satu minggu minimal ekuivalen dengan beban tugas wajib konselor di sekolah madrasah.
C. PELAKSANAAN KEGIATAN
  • Konselor berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pengembangan diri yang bersifat rutin, insidental dan keteladanan.
  • Program pelayanan konseling yang direncanakan dalam bentuk SATLAN dan SATKUNG dilaksanakan sesuai dengan sasaran, substansi, jenis kegiatan, waktu, tempat dan pihak - pihak yang terkait.
  • Kegiatan pelayanan konseling dapat dilaksanakan di dalam atau di luar jam pembelajaran sekolah / madrasah. Kegiatan pelayanan konseling di luar jam pembelajaran maksimum 50%.
  • Kegiatan pelayanan konseling dicatat dalam laporan pelaksanaan program (LAPELPROG).
  • Alokasi waktu kegiatan konseling dan kegiatan ekstra kurikuler yang merupakan bagian dari kegiatan pengembangan diri ekuivalen 2 (dua) jam pembelajaran untuk setiap kelas.
  • Waktu untuk pelaksanaan kegiatan pelayanan konseling di dalam kelas dan di luar kelas setiap minggu diatur oleh konselor dengan persetujuan pimpinan sekolah / madrasah.
D PENILAIAN KEGIATAN
  •  Penilaian hasil kegiatan pelayanan konseling dilakukan melalui:
  1. Penilaian segera (LAISEG) yaitu penilaian pada akhir setiap jenis layanan dan kegiatan pendukung konseling untuk mengetahui perolehan peserta didik yang dilayani.
  2. Penilaian jangka pendek (LAIJAPEN) yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu minggu sampai dengan satu bulan) setelah satu jenis layanan dan kegiatan pendukung konseling, diselenggarakan untuk mengetahui lebih jauh terhadap peserta didik.
  3. Penilaian jangka panjang (LAIJAPANG) yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu bulan dampai satu semester) setelah satu atau beberapa layanan dan kegiatan pendukung konseling diselenggarakan untuk mengetahui lebih jauh dampak layanan dan atau kegiatan konseling terhadap peserta didik.
  • Penilaian proses kegiatan pelayanan konseling dilakukan melaui analisis keterlibatan unsur - unsur sebagaimana tercantum di dalam SATLAN dan SATKUNG, untuk mengetahui efektifitas dan efesiensi pelaksanaan kegiatan.
  • Hasil penilaian kegiatan pelayanan konseling dicantumkan dalam LAPELPROG.
  • Hasil kegiatan pelayanan konseling secara keseluruhan dalam satu semester untuk setiap peserta didik yang merupakan komponen penembangan diri dilaporkan secara kualitatif.
E. PELAKSANAAN KEGIATAN
  • Pelaksanaan kegiatan pelayanan konseling adalah konselor sekolah / madrasah.
  • Konselor pelaksana kegiatan konseling di sekolah / madrasah wajib :
  1. Menguasai spektrum pelayanan pada umumnya, khususnya pelayanan profesi konseling.
  2. Merumuskan dan menjelaskan peran keprofesian konselor kepada pihak - pihak terkait, terutama peserta didik, pimpinan sekolah / madrasah, sejawat pendidik dan orang tua.
  3. melaksanakan tugas pelayanan profesian konseling yang setiap kali dipetanggungjawabkan kepada pemangku kepentingan, terutama pimpinan sekolah / madrasah, orang tuan dan peserta didik.
  4. mewaspadai hal - hal negatif yang dapat mengurangi keefektifan kegiatan konseling.
  5. Mengembangkan kemampuan keprofesian secara berkelanjutan.
  • Beban tugas wajib konselor ekuivalen dengan beban tugas wajib pendidik lainnya di sekolah / madrasah sesuai dengan peraturan perundang  peundangan yang berlaku.
F. PENGAWASAN KEGIATAN
  • Kegiatan pelayanan konseling di sekolah / madrasah dipantau, dievaluasi dan dibina melalui kegiatan pengawasan.
  • Pengawasan kegiatan pelayanan konseling dilakukan secara:
  1. Intereen, oleh kepala sekolah / madrasah.
  2. Eksteren, oleh pengawas sekolah / madrasah bidang konseling.  
  • Fokus pengawasan adalah kemampuan profesional konselor dan implementasi kegiatan pelayanan konseling yang menjadi kewajiban dan tugas konselor disekolah / madrasah.
  • Pengawasan kegiatan pelayanan konseling dilakukan secara berkala dan berkelanjutan.
  • Hasil pengawasan didokumentasikan, dianalisis dan ditindaklanjuti secara untuk peningkatan mutu dan pelaksanaan kegiatan konseling di sekolah / madrasah.

      Jumat, 15 April 2011

      MENTAL SEHAT DAN TIDAK SEHAT.

      Pada umumnya setiap orang senangtiasa memiliki mental yg sehat, namun karena suatu sebab ada sebagian orang yang memiliki mental tidak sehat. Orang yang tidak sehat mentalnya memiliki tekanan - tekanan batin. Dengan suasana batin yang seperti itu, kepribadian seseorang menjadi kacau dan menggangu ketenangannya. Gejala inilah yang menjadi pusat ganguan ketenangan hidup.

      ketenangan hidup dapat tercapai bila seseorang dapat memecahkan keruwetan jiwa pada dirinya yang menimbulkan kesulitan hidup. Hal ini dapat dilakukan bila ia berusaha untuk membersihkan jiwa agar tidak tergangu ketenangannya dan tidak terjadi konflik-konflik maupun rasa takut.

      orang yang mentalnya kacau tidak dapat memperoleh ketenangan hidup. Jika mereka sering terganggu sehingga menimbulkan stres dan konflik batin. hal ini menyebabkan timbulnya emosi negatif sehingga ia tidak mampu mencapai kedewasaan psikis, mudah putus asa dan bahkan ingin bunuh diri.

      kekacauan mental ini disebabkan kurangnya kesadaran memiliki konflik-konflik emosional, tidak berani menghadapi tantangan kesulitan akibat hidup di tengah-tengah masyarakat yang menimbulkan terjadinya disorganisasi maupun disintegrasi sosial. Penyebab lain bahwa krisis-krisis di tengah masyarakat yang menyebabkan seseorang ingin melarikan diri dari realitas hidup yang dirasakan.

      Sebaliknya, orang yang bermental sehat akan merasakan suasana batin yang aman, tenteram dan sejahtera. Berbagai usaha untuk mencapai kebahagiaan, keamanan, ketenteraman batin dan kesehatan mental, pada hakikatnya bertujuan untuk mencari ketenangan hidup. Sehubungan dengan hal itu, banyak brmunculan bingbingan dan penyuluhan, psikiater, konsultan jiwa dan sebagainya yang mencoba memberikan jawaban terhadap problem jiwa yang tidak sehat.

      setiap orang ingin menikmati ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup. Namun, tidak semua orang mampu mencapai keinginan tersebut karena adanya rintangan yang membuat seseorang mengalami kegelisahan, kecemasan dan ketidakpuasan.

      Sesungguhnya ketenangan hidup, ketenteraman jiwa atau kebahagiaan batin, tidak sepenuhnya bergantung pada faktor-faktor luar seperti keadaan sosial, ekonomi, politik, adat kebiasaan dan sebagainya, tetapi lebih bergantung pada cara dan sikap menghadapi faktor-faktor tersebut. Kita tidak boleh mengabaikan pengaruh faktor-faktor luar itu, karena memang ada pengaruhnya, Misalnya, dalam menghadapi kemerosotan ekonomi, seseorang menjadi bingung, gelisah dan sedih, bukan karena kemerosotan ekonomi itu secara langsung, tetapi ketiddak-mampuannya menghadapi faktor tersebut dengan wajar, serta tidak dapat memikirkan apa yang dilakukannya untuk menghadapi perubahan yang drastis dan mendadak itu. Akibatnya ia dihadapi oleh rasa gelisa yang sangat, yang menyebabkan keabnormalan tindakan dan sikap dalam hidupnya.

      Jadi, yang menentukan ketenangan dan kebahagian hidup adalah kesehatan mental. Kesehatan mental itulah yang menentukan tanggapan seseorang terhadap suatu persoalan dan kemampuannya untuk menyesuaikan diri. Kesehatan mental pulalah yang menentukan apakah orang mempunyai kegairahan untuk hidup, atau tidak memilikinya sama sekali.

      Orang yang sehat mentalnya tidak akan cepat berputus asa, bersikap pesimis atau apatis, karena ia dapat menghadapi semua rintangan hidupnya dengan tenang dan wajar. Ia menerima kegagalan sebagai suatu pelajaran yang akan membawa kesuksesan. Apabila kegagalan itu dihadapi dengan tenang, ia  dapat menganalisis, mencari sebab-sebab atau menemukan faktor-faktor yang menyebabkannya. Dengan demikian akan dapat dijadikan pelajaran dalam usaha yang akan datang, yaitu menghindari ssemua hal-hal yang membawa kegagalan pada waktu lalu itu.

      Untuk mengetahui apakah seseorang sehat atau terganggu mentalnya, tidaklah mudah, karena tidak dapat diukur, diperiksa atau dilihat dengan alat-alat seperti halnya dalam kesehatan badan. Biasanya yang dijadikan bahan penyelidikan untuk mengecek kesehatan mental adalah tindakan, tingkah laku atau perasaan karena seseorang yang terganggu kesehatan mentalnya akan mengalami kegoncangan emosi, kelainan tingkah laku atau tindakan.