Kecemasan atau anxiety merupakan salah satu bentuk emosi individu
yang berkenaan dengan adanya rasa terancam oleh sesuatu, biasanya dengan
objek ancaman yang tidak begitu jelas. Kecemasan dengan intensitas yang
wajar dapat dianggap memiliki nilai positif sebagai motivasi, tetapi
apabila intensitasnya sangat kuat dan bersifat negatif justru malah akan
menimbulkan kerugian dan dapat mengganggu terhadap keadaan fisik dan
psikis individu yang bersangkutan.
Adalah Sigmund Freud, sang pelopor Psikoanalisis yang banyak mengkaji
tentang kecemasan ini. Dalam kerangka teorinya, kecemasan dipandang
sebagai komponen utama dan memegang peranan penting dalam dinamika
kepribadian seorang individu.
Freud (Calvin S. Hall, 1993) membagi kecemasan ke dalam tiga tipe:
1. Kecemasan realistik yaitu rasa takut terhadap ancaman atau bahaya-bahaya nyata yang ada di dunia luar atau lingkungannya.
2. Kecemasan neurotik adalah rasa takut jangan-jangan insting-insting
(dorongan Id) akan lepas dari kendali dan menyebabkan dia berbuat
sesuatu yang bisa membuatnya dihukum. Kecemasan neurotik bukanlah
ketakutan terhadap insting-insting itu sendiri, melainkan ketakutan
terhadap hukuman yang akan menimpanya jika suatu insting dilepaskan.
Kecemasan neurotik berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya
pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua
maupun orang lain yang mempunyai otoritas, jika dia melakukan perbuatan
impulsif.
3. Kecemasan moral yaitu rasa takut terhadap suara hati (super ego).
Orang-orang yang memiliki super ego yang baik cenderung merasa bersalah
atau malu jika mereka berbuat atau berfikir sesuatu yang bertentangan
dengan moral. Sama halnya dengan kecemasan neurotik, kecemasan moral
juga berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya pada masa
kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua maupun
orang lain yang mempunyai otoritas jika dia melakukan perbuatan yang
melanggar norma
Selanjutnya, dikemukakan pula bahwa kecemasan yang tidak dapat
ditanggulangi dengan tindakan-tindakan yang efektif disebut traumatik,
yang akan menjadikan seseorang merasa tak berdaya, dan serba
kekanak-kanakan. Apabila ego tidak dapat menanggulangi kecemasan dengan
cara-cara rasional, maka ia akan kembali pada cara-cara yang tidak
realistik yang dikenal istilah mekanisme pertahanan diri (self defense
mechanism), seperti: represi, proyeksi, pembentukan reaksi, fiksasi dan
regresi. Semua bentuk mekanisme pertahanan diri tersebut memiliki
ciri-ciri umum yaitu: (1) mereka menyangkal, memalsukan atau
mendistorsikan kenyataan dan (2) mereka bekerja atau berbuat secara tak
sadar sehingga tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Kecemasan dapat dialami siapapun dan di mana pun, termasuk juga oleh
para siswa di sekolah. Kecemasan yang dialami siswa di sekolah bisa
berbentuk kecemasan realistik, neurotik atau kecemasan moral. Karena
kecemasan merupakan proses psikis yang sifatnya tidak tampak ke
permukaan maka untuk menentukan apakah seseorang siwa mengalami
kecemasan atau tidak, diperlukan penelaahan yang seksama, dengan
berusaha mengenali simptom atau gejala-gejalanya, beserta faktor-faktor
yang melatarbelangi dan mempengaruhinya. Kendati demikian, perlu dicatat
bahwa gejala-gejala kecemasan yang bisa diamati di permukaan hanyalah
sebagian kecil saja dari masalah yang sesungguhnya, ibarat gunung es di
lautan, yang apabila diselami lebih dalam mungkin akan ditemukan
persoalan-persoalan yang jauh lebih kompleks.
Di sekolah, banyak faktor-faktor pemicu timbulnya kecemasan pada diri
siswa. Target kurikulum yang terlalu tinggi, iklim pembelajaran yang
tidak kondusif, pemberian tugas yang sangat padat, serta sistem
penilaian ketat dan kurang adil dapat menjadi faktor penyebab timbulnya
kecemasan yang bersumber dari faktor kurikulum. Begitu juga, sikap dan
perlakuan guru yang kurang bersahabat, galak, judes dan kurang kompeten
merupakan sumber penyebab timbulnya kecemasan pada diri siswa yang
bersumber dari faktor guru. Penerapan disiplin sekolah yang ketat dan
lebih mengedepankan hukuman, iklim sekolah yang kurang nyaman, serta
sarana dan pra sarana belajar yang sangat terbatas juga merupakan
faktor-faktor pemicu terbentuknya kecemasan pada siswa.yang bersumber
dari faktor manajemen sekolah.
Menurut Sieber e.al. (1977) kecemasan dianggap sebagai salah satu
faktor penghambat dalam belajar yang dapat mengganggu kinerja
fungsi-fungsi kognitif seseorang, seperti dalam berkonsentrasi,
mengingat, pembentukan konsep dan pemecahan masalah. Pada tingkat kronis
dan akut, gejala kecemasan dapat berbentuk gangguan fisik (somatik),
seperti: gangguan pada saluran pencernaan, sering buang air, sakit
kepala, gangguan jantung, sesak di dada, gemetaran bahkan pingsan.
Mengingat dampak negatifnya terhadap pencapaian prestasi belajar dan
kesehatan fisik atau mental siswa, maka perlu ada upaya-upaya tertentu
untuk mencegah dan mengurangi kecemasan siswa di sekolah, diantaranya
dapat dilakukan melalui:
1. Menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran
dapat menyenangkan apabila bertolak dari potensi, minat dan kebutuhan
siswa. Oleh karena itu, strategi pembelajaran yang digunakan hendaknya
berpusat pada siswa, yang memungkinkan siswa untuk dapat mengkspresikan
diri dan dapat mengambil peran aktif dalam proses pembelajarannya.
2. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung guru seyogyanya dapat
mengembangkan “sense of humor” dirinya maupun para siswanya. Kendati
demikian, lelucon atau “joke” yang dilontarkan tetap harus berdasar pada
etika dan tidak memojokkan siswa.
3. Melakukan kegiatan selingan melalui berbagai atraksi “game” atau “ice
break” tertentu, terutama dilakukan pada saat suasana kelas sedang
tidak kondusif.. Dalam hal ini, keterampilan guru dalam mengembangkan
dinamika kelompok tampaknya sangat diperlukan.
4. Sewaktu-waktu ajaklah siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran di
luar kelas, sehingga dalam proses pembelajaran tidak selamanya siswa
harus terkurung di dalam kelas.
5. Memberikan materi dan tugas-tugas akademik dengan tingkat kesulitan
yang moderat. Dalam arti, tidak terlalu mudah karena akan menyebabkan
siswa menjadi cepat bosan dan kurang tertantang, tetapi tidak juga
terlalu sulit yang dapat menyebabkan siswa frustrasi.
6. Menggunakan pendekatan humanistik dalam pengelolaan kelas, dimana
siswa dapat mengembangkan pola hubungan yang akrab, ramah, toleran,
penuh kecintaan dan penghargaan, baik dengan guru maupun dengan sesama
siswa. Sedapat mungkin guru menghindari penggunaan reinforcement negatif
(hukuman) jika terjadi tindakan indisipliner pada siswanya.
7. Mengembangkan sistem penilaian yang menyenangkan, dengan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk melakukan penilaian diri (self assessment)
atas tugas dan pekerjaan yang telah dilakukannya. Pada saat
berlangsungnya pengujian, ciptakan situasi yang tidak mencekam, namun
dengan tetap menjaga ketertiban dan objektivitas. Berikanlah umpan balik
yang positif selama dan sesudah melaksanakan suatu asesmen atau
pengujian.
8. Di hadapan siswa, guru akan dipersepsi sebagai sosok pemegang
otoritas yang dapat memberikan hukuman. Oleh karena itu, guru seyogyanya
berupaya untuk menanamkan kesan positif dalam diri siswa, dengan hadir
sebagai sosok yang menyenangkan, ramah, cerdas, penuh empati dan dapat
diteladani, bukan menjadi sumber ketakutan.
9. Pengembangan menajemen sekolah yang memungkinkan tersedianya sarana
dan sarana pokok yang dibutuhkan untuk kepentingan pembelajaran siswa,
seperti ketersediaan alat tulis, tempat duduk, ruangan kelas dan
sebagainya. Di samping itu, ciptakanlah sekolah sebagai lingkungan yang
nyaman dan terbebas dari berbagai gangguan, terapkan disiplin sekolah
yang manusiawi serta hindari bentuk tindakan kekerasan fisik maupun
psikis di sekolah, baik yang dilakukan oleh guru, teman maupun
orang-orang yang berada di luar sekolah.
10. Mengoptimalkan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah.
Pelayanan bimbingan dan konseling dapat dijadikan sebagai kekuatan inti
di sekolah guna mencegah dan mengatasi kecemasan siswa Dalam hal ini,
ketersediaan konselor profesional di sekolah tampaknya menjadi mutlak
adanya.
Melalui upaya – upaya di atas diharapkan para siswa dapat terhindar
dari berbagai bentuk kecemasan dan mereka dapat tumbuh dan berkembang
menjadi individu yang sehat secara fisik maupun psikis, yang pada
gilirannya dapat menunjukkan prestasi belajar yang unggul.
Rabu, 07 Maret 2012
Cara Mencegah Kecemasan Siswa di Sekolah
Konseling Lintas Budaya
PENGERTIAN BUDAYA
Tokoh pendidikan nasional bapak Ki Haiar Dewantara (1977) memberikan definisi budaya sebagai berikut: Budaya berarti buah budi manusia, adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai bagal rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi (1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu:
1. merupakan produk budidaya manusia,
2. menentukan ciri seseorang,
3. manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.
PENGERTIAN KONSELING
Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangn dirinya,dan untuk mencapai perkembangan yang optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya ,proses tersebuat dapat terjadi setiap waktu. (Division of Conseling Psychologi). Konseling meliputi pemahaman dan hubungan individu untuk mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan, motivasi, dan potensi-potensi yang yang unik dari individu dan membantu individu yang bersangkutan untuk mengapresiasikan ketiga hal tersebut. (Berdnard & Fullmer ,1969) Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu:
1. adanya hubungan,
2. adanya dua individu atau lebih,
3. adanya proses,
4. membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan.
KONSEP KONSELING LINTAS BUDAYA
Isu-isu
tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya
meningkat dalam dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran
bangsa Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu
disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang
memecahbelah secara meningkat pula (Hansen, L. S., 1997:41). Hal ini
menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan baru untuk kehidupan
pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan bagi orang biasa maupun
profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya. Pendidikan yang
dimaksud hendaknya menegaskan dimensi-dimensi keragaman dan perbedaan.
Dengan kata lain, kecenderungan pendidikan yang berwawasan lintas budaya
sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia abad-21.
Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioral dan humanistik (Paul Pedersen, 1991). Suatu masalah yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa orang mengartikannya secara berlain-lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui maknanya secara pasti atau benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah diartikan secara beragam dan berbeda-beda; sebagaimana keragaman dan perbedaan budaya yang memberi artinya.
Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan pada ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabel-variabelnya (Sue dan Sue, 1990). Namun, argumen-argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya harus melingkupi pula seluruh bidang dari kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan Birman, 1994).
Para ahli dan praktisi lintas budaya pun berbeda paham dalam menggunakan pendekatan universal atau etik, yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok; atau pendekatan emik (kekhususan-budaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka. Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja
dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.
Tampaknya konsep konseling lintas budaya yang melingkupi dua pendekatan tersebut dapat dipadukan sebagai berikut. Konseling lintas budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan klien yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabelvariabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37).
Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara
kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien (Dedi Supriadi, 2001:6).
Maka konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling. Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu:
1. konselor
dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2. konselor
danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan
konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih
lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991)
dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah:
1. latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor,
2. latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien,
3. asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan
4. nilai-nilai
yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan
hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu
dilaksanakan.
5. Nah, dari uraian diatas, ada beberapa hal yang perlu dipahami, yaitu:
6. Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
7. Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral
8. Memahami bahwa kekuatan susio-politik akan mempengaruhi dan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok
9. Dapat berbagi pandangannya tentang dunia klien dan tidak tertutup
10. Jujur
dalam konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada
kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.
KARAKTERISTIK KONSELOR
Dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Pasal 1 ayat 13,
mencantumkan bahwa saat ini konselor merupakan salah satu tenaga
pendidik. Yang mana hal tersebut merupakan indicator secara tidak
langsung bahwa konselor sudah mulai di butuhkan dalam suatu intitusi
pendidikan. Maka dari itu, hal ini perlu diperhatikan dengan
diperlukannya suatu klasifikasi khusus akan konselor sebagai tenaga
pendidik ini, sebagai upaya dalam membangun profesi konselor yang
professional. Selain itu dalam pencapaiannya sebagai suatu profesi yang professional, Beberapa dari hasil penelitian menunjukan,
kualitas pribadi konselor menjadi faktor penentu bagi pencapain
konseling yang efektif, di samping faktor pngetahuan tentang dinamika
perilaku dan keterampilan
teurapeutik atau konseling. Hal ini juga merupakan factor pendunkung
bagi tercapainya suatu profesi konselor yang professional.
Kegiatan
konseling yang dilakukan oleh setiap konselor tentunya tidak akan
terlepas dari berbagai aspek penting mengenai komunikasi. Suatu
komunikasi yang baik tidak akan tercapai bila tidak adanya rasa saling
percaya antara kedua belah pihak. Ketercapaian rasa saling percaya ini
dapat tercapai dengan pengetahuan/ keterampilan, dan kepribadian yang
dimiliki oleh konselor.
Berdasarkan
hal tersebut, maka dalam rangka mempersiapkan para calon konselor,
pihak lembaga yang bertanggung jawab dalam pendidikan para calon
konselor tersebut dituntut untuk memfasilitasi perkembangan pribadi
mereka yangberkualitas, yang dapat dipertanggungjawabkan secara
profesional. Cavanagh (1982) mengemukakan bahwa kualitas pribadi konselor ditandai dengan beberapa karakteristik sebagai berikut :
- Pengetahuan Mengenai Diri Sendiri (Self-knowledge)
Disini berarti
bahwa konselor memahami dirinya dengan baik, dia memahami secara nyata
apa yang dia lakukan, mengapa dia melakukan itu, dan masalah apa yang
harus dia selesaikan. Pemahaman ini sangat penting bagi konselor, karena
beberapa alasan sebagai berikut.
a) Konselor yang memilki persepsi yang akurat akan dirinya maka dia juga akan memilki persepsi yang kuat terhadap orang lain.
b) Konselor yang terampil memahami dirinya maka ia juga akan memahami orang lain.
- Kompetensi (Competence)
Kompetensi dalam karakteristik ini memiliki makna sebagai kualitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral yang harus dimiliki konselor untuk membantu klien. kompetensi
sangatlah penting, sebab klien yang dikonseling akan belajar dan
mengembangkan kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk mencapai
kehidupan yang efektif dan bahagia. Adapun kompetensi dasar yang seyogianya dimilki oleh seorang konselor, yang antara lain :
a. Penguasaan wawasan dan landasan pendidikan
b. Penguasaan konsep bimbingan dan konseling
c. Penguasaan kemampuan assesmen
d. Penguasaan kemampuan mengembangkan progaram bimbingan dan konseling
e. Penguasaan kemampuan melaksanakan berbagai strategi layanan bimbingan dan konseling
f. Penguasaan kemampuan mengembangkan proses kelompok
g. Penguasaan kesadaran etik profesional dan pengembangan profesi
h. Penguasaan pemahaman konteks budaya, agama dan setting kebutuhan khusus.
- Kesehatan Psikologis yang Baik
Seorang
konselor dituntut untuk dapat menjadi model dari suatu kondisi
kesehatan psikologis yang baik bagi kliennya, yang mana hal ini memiliki
pengertian akan ketentuan dari konselor dimana konselor harus lebih
sehat kondisi psikisnya daripada klien. Kesehatan
psikolpgis konselor yang baik sangat penting dan berguna bagi hubungan
konseling. Karena apabila konselor kurang sahat psikisnya, maka ia akan
teracuni oleh kebutuhan-kebutuhan sendiri, persepsi yang subjektif,
nilai-nilai keliru, dan kebingungan.
- Dapat Dipercaya (trustworthness)
Konselor yang dipercaya dalam menjalankan tugasnya memiliki kecenderungan memilki kualitas sikap dan prilaku sebagai berikut:
a) Memilki pribadi yang konsisten
b) Dapat dipercaya oleh orang lain, baik ucapannya maupun perbuatannya.
c) Tidak pernah membuat orang lain kesal atau kecewa.
d) Bertanggung jawab, mampu merespon orang lain secara utuh, tidak ingkar janji dan mau membantu secara penuh.
- Kejujuran (honest)
Yang dimaksud dengan Kejujuran disini memiliki pengertian bahwa seorang konselor itu diharuskan memiliki sifat yang terbuka, otentik, dan sejati dalam pembarian layanannya kepada konseli. Jujur disini dalam pengertian memiliki kongruensi atau kesesuaian dalam kualitas diri actual (real-self) dengan penilain orang lain terhadap dirinya (public self). Sikap jujur ini penting dikarnakan:
1. Sikap keterbukaan konselor dan klien memungkinkan hubungan psikologis yang dekat satu sama lain dalam kegiatan konseling.
2. Kejujuaran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara objektif terhadap klien.
- Kekuatan atau Daya (strength)
Kekuatan
atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling, sebab dengan
hal itu klien merasa aman. Klien memandang seorang konselor sebagi orang
yang, tabaha dalam menghadapi masalah, dapat mendorong klien dalam
mengatasi masalahnya, dan dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah
pribadi.
Konselor yang memilki kekuatan venderung menampilkan kualitas sikap dan prilaku berikut.
1. Dapat membuat batas waktu yang pantas dalam konseling
2. Bersifat fleksibel
3. Memilki identitas diri yang jelas
- Kehangatan (Warmth)
Yang
dimaksud dengan bersikap hangat itu adalah ramah, penuh perhatian, dan
memberikan kasih sayang. Klien yang datang meminta bantuan konselor,
pada umumnya yang kurang memilki kehangatan dalam hidupnya, sehingga ia
kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikanperhatian, dan
kasih sayang. Melalui konseling klien ingin mendapatkan rasa hangat
tersebut dan melakukan Sharing dengan konseling. Bila hal itu diperoleh
maka klien dapat mengalami perasaan yang nyaman.
- Pendengar yang Aktif (Active responsiveness)
Konselor secara dinamis telibat dengan seluruh proses konseling. Konselor yang memiliki kualitas ini akan: (a) mampu berhubungan
dengan orang-orang yang bukan dari kalangannya sendiri saja, dan mampu
berbagi ide-ide, perasaan, (b) membantu klien dalam konseling dengan
cara-cara yang bersifat membantu, (c) memperlakukan klien dengan
cara-cara yang dapat menimbulkan respon yang bermakna, (d) berkeinginan
untuk berbagi tanggung jawab secara seimbang dengan klien dalam konseling.
- Kesabaran
Melaui
kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu klien untuk
mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor menunjukan
lebih memperhatikan diri klien daripada hasilnya. Konselor yang sabar
cenderung menampilkan sikap dan prilaku yang tidak tergesa-gesa.
- Kepekaan (Sensitivity)
Kepekaan
mempunyai makna bahwa konselor sadar akan kehalusan dinamika yang
timbul dalam diri klien dan konselor sendiri. Kepekaan diri konselor
sangat penting dalam konseling karena hal ini akan memberikan rasa aman
bagi klien dan klien akan lebih percaya diri apabila berkonsultasi
dengan konselor yang memiliki kepekaan.
- Kesadaran Holistik
Pendekatan
holistik dalam bidang konseling berarti bahwa konselor memahami secara
utuh dan tidak mendekatinya secara serpihan. Namun begitu bukan berarti
bahwa konselor seorang yang ahli dalam berbagai hal, disini
menunjukan bahwa konselor perlu memahami adanya berbagai dimensi yang
menimbulkan masalah klien, dan memahami bagaimana dimensi yang satu
memberi pengaruh terhadap dimensi yang lainnya. Dimensi-dimensi itu
meliputi aspek, fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual, dan
moral-spiritual.
Konselor yang memiliki kesdaran holistik cenderung menampilkan karakteristik sebagai berikut.
· Menyadari secara akurat tentang dimensi-dimensi kepribadian yang kompleks.
· Menemukan cara memberikan konsultasi yang tepat dan mempertimbangkan perlunya referal.
· Akrab dan terbuka terhadap berbagai teori.
Analisis
Apabila
hal-hal akan karakteristik konselor ini di refleksikan terhadap diri
sendiri sebagai calon konselor, yang mana tentunya mau tidak mau
diharuskan memenuhi berbagai macam karakteristik tersebut. Maka di dapat
beberapa refleksi diri terhadap karakteristik konselor tersebut yang
antara lain:
- Pengetahuan
akan diri sendiri, dalam hal ini saya kurang labih memiliki pengetahuan
diri sendiri sebesar 60 persen, akan tetapi saya bingung antara
pengetahuan akan diri dengan keinginan diri.
- Kompetensi,
disini saya diperkirakan telah memiliki kompetensi yang saya yakini
sebesar 30 persen dari keseluruhan potensi yang ada.
- Kesehatan psikologis yang baik, sebsesar 70 persen saya yakin bahwa memiliki kesehatan psikologis yang baik.
- Dapat dipercaya, meduduki persentase sebesar 87 persen,
- Kejujuran, dapat dikatakan kejujuran ini 85,1 persen,
- Sedangkan
apa bila dilihat dari segi pendengar aktif, kesabaran serta kepekaan
terhadap situasi konseling memiliki keyakinan sebesar 50 persen.
Kesimpulan
Meskipun
terdapat berbagai karakteristik yang harus dipenuhi untuk mencapainya
proses konseling yang baik, disarankan seorang calon konselor untuk
dapat selalu membenahi dan memperbaiki dirinya kearah yang labih baik
dan lebih mendekatkan diri pada yang maha kuasa serta memperkuat ilmu
agama agar konseling yang dilaksanakan lebih berjalan dengan baik serta
sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada dalam agama. Selain itu,
karakteristik konselor dapat mendorong timbulnya public trust terhadap diri seorang konselor.
Referensi:
· Surya, Mohamad. (2003). Psikologi Konseling. Bandung: C.V. Pustaka Bani Quraisy
· Syamsu, Yusuf, Juntika. 2005. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Rosda
· Juntika, Ahmad. 2005. Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Refika Aditama
Langganan:
Postingan (Atom)